Hari Puisi Nasional, Peringatan Hari Wafat Chairil Anwar

Reporter: Neng Osa Nurohmah
Redaktur: Rezka Listiani Sinaga


Ilustrasi gambar tangan memegang pena, akan menulis puisi. (Sumber: soundcloud.com)Kalau sampai waktuku.
Ku mau tak seorang ‘kan merayu...
Tidak juga kau...

Tak perlu sedu sedan itu...
Aku ini binatang jalang.
Dari kumpulannya yang terbuang...
...

Siapa yang tidak tahu dengan puisi “Aku” karya sastrawan legendaris Indonesia ini, Chairil Anwar. Minggu, 28 April 2019 diperingati sebagai Hari Puisi Nasional yang bertepatan dengan hari wafatnya penyair terkemuka Indonesia, Chairil Anwar, sang pelopor puisi modern di Indonesia. Perkembangan puisi modern atau puisi baru memang sangat pesat, tetapi puisi lama pun juga masih memiliki banyak peminat.

“Puisi berkembang pesat, tapi bentuknya tidak seperti puisi lama, rata-rata penulis zaman sekarang menulis dalam bentuk baru, entah itu senandika, prosais, modern, kontemporer, puisi lirik atau yang lain. Cuma kalo di pasar itu menurut saya lebih banyak peminat novel, contohnya peminat pembaca puisi di wattpad lebih sedikit dibanding pembaca fun fiction. Puisi berkembang tapi cuma yang modern.” Ujar Aimer (20), Penulis 16 buku antologi, Founder SASI (Sarasehan Anak Sastra Indonesia).

Dhian Arofah (19), salah seorang penggiat literasi mengatakan, “Puisi itu bisa jadi diary emosional bagi pengarang yang menulis puisi sesuai suasana hatinya. Puisi juga bisa jadi seni merangkai bagi penyair yang membuat puisi tanpa menaruh rasa didalamnya.”

Menurut Shelley, seorang Penyair Romantis asal Inggris, puisi memperkuat organ moral manusia sama seperti pendidikan jasmani yang memperkuat urat-urat dalam badan, dan puisi juga bisa membawa kita untuk melihat apa yang kita tidak pernah kita lihat, untuk mendengar apa yang tidak pernah kita dengar.

Puisi sudah tidak asing lagi bagi warga Indonesia. Bahkan sekarang semua orang bisa menbuat puisi.

“Mungkin biasanya orang-orang berpikir puisi bisa dipakai buat media penyampaian sesuatu, entah itu untuk curhat atau ngodein orang, biasanya itu yang dipakai anak-anak sekarang. Padahal fungsi puisi lebih dariitu, puisi memang media untuk penyampaian sesuatu selama ada makna tersirat dari yang tersurat.” Ucap Aimer.

Beberapa aktivis juga sering menggunakan puisi sebagai alat aspirasi karena puisi sifatnya bebas dan mandiri. Puisi sarkas, satir, dan efigma adalah jenis puisi yang biasa dipakai untuk menyampaikan aspirasi atau sindiran dari rakyat kepada pemerintah. Aktivis melakukan protes dengan cara halus melalui puisi tersebut. (NON/RLS/POSISINEWS)




Post a Comment

0 Comments