Redaktur : Rezka Listiani Sinaga
Ilustrasi petisi (merdeka.com)
|
POSISINEWS – Petisi
online merupakan suatu bentuk suara aspirasi masyarakat yang bergerak di dunia
maya, namun berdampak pada kehidupan nyata. Awal mulanya petisi ini muncul
ketika adanya platform bernama Change.org. Platform tersebut digunakan oleh
orang-orang yang merasa akses atau ruang mereka untuk menyalurkan aspirasi
terbatas.
“Karena
saluran partisipasi di ruang-ruang nyata itu terbatas, ini menjadi alternatif
yang sudah terbukti cukup berhasil di beberapa kasus. Jadi, masyarakat
menyalurkan ketidak-puasannya itu menggunakan petisi online,” jelas Abdul
Hamid, dosen Ilmu Pemerintahan, saat ditemui di hotel Ultima Horison, Selasa
(16/4).
Menurut
Hamid, jika dilihat dari
sejarah, petisi bukanlah barang baru dalam partisipasi politik. Petisi
merupakan bentuk non-konvensional dari penyampaian aspirasi masyarakat. Namun,
yang membuatnya menjadi “baru” adalah karena bentuknya berubah. Petisi tidak lagi
menggunakan kertas, ditandatangai secara manual, dan dibawa saat demonstrasi
misalnya, tapi dilakukan secara online sehingga penyebarannya lebih masif dan
luas.
Hamid
juga menambahkan bahwa petisi online mulai muncul ketika ada hambatan
komunikasi politik antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya. Wakil
rakyat cenderung mengikuti apa kata partai daripada aspirasi masyarakat,
sehingga kepercayaan mereka terhadap pemerintah berkurang. Meskipun platform
tersebut berfungsi sebagai penyalur dan penampung aspirasi, penggunanya juga meningkat
setiap tahun, hal itu tidak serta- merta menggantikan peran dan fungsi wakil
rakyat di pemerintahan.
“Petisi
online tidak dapat menggantikan fungsi dari perwakilan rakyat. Karena perwakilan rakyat
fungsinya tidak hanya mendengarkan aspirasi, tapi juga membuat kebijakan. Kalo
dalam bahasa politik terdapat interest articulation dan agregation. Jika
dilihat dari kedua hal tadi, petisi
online termasuk dalam interest articulation atau input bagi sistem,” tutur
dosen berusia 38 tahun tersebut.
Hal
serupa juga diungkapkan oleh dosen komunikasi politik, Idi Dimyati, yang
mengatakan bahwa petisi online lebih sekedar ajang untuk mendorong dan
membangun opini politik di tengah warganet, dan tidak sepenuhnya bisa
menggantikan fungsi perwakilan rakyat.
“Tidak sepenuhnya bisa
menggantikan. Selain jalurnya bukan formal dalam tata kelembagaan kehidupan
politik kita, tidak semua petisi online mendapatkan respon atau dukungan besar
dari publik, sehingga efek opini yang terbangun rendah. Dan tidak semua petisi
online melahirkan gerakan koknret di dunia nyata,” tuturnya (15/4).
Selain
lebih bergerak di dunia maya, menurut Idi, tidak ada aturan hukum yang mengatur
dan mewajibkan pemerintah untuk menjawab petisi tersebut.
“Petisi
online hanya instrumen yang digunakan oleh warganet, atau pihak-pihak terkait
untuk mendesakan opini dan aspirasinya, atas sebuah sebuah persoalan yang
dianggap penting. Sampai saat ini tidak ada aturan yang mengharuskan aparat
pemerintah, misalnya mengakomodir petisi online. Dan juga , itu masuk dalam
wilayah etika,” tutupnya. (MAE/RLS/POSISINEWS).
0 Comments