Redaktur : Tasha Meyra Gusmawati
Alat Peraga Kampanye (APK)
hiasi bahu jalan. (sumber: net)
|
POSISINEWS
– Pemilihan
Umum (Pemilu) selalu diwarnai dengan maraknya beragam Alat Peraga Kampanye
(APK) di seluruh ruang terbuka. Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) RI
Nomor 23 Tahun 2018 Pasal 32 ayat 2, menjelaskan beragam media yang dapat
dijadikan APK adalah baliho, billboard,
videotron, spanduk dan/atau umbul-umbul. Pada suatu APK, umumnya tertuang
identitas para calon, seperti nomor urut, daerah pemilihan (dapil), visi dan misi,
serta gambar profilnya.
Andi Siswana, Calon Legislatif DPRD Kota
Serang Dapil 1, menjelaskan penggunaan APK ditujukan sebagai bentuk sosialisasi
pencalonan dirinya kepada masyarakat di daerah pemilihannya.
“Saya menggunakan baliho, banner, stiker juga kalender sebenarnya
untuk mengenalkan diri karena saya di luar ring, harusnya dapil 2. Itu kita
buat agar setiap penduduk mengenal (calonnya),” ujarnya saat ditemui di Kantor
Dewan Pimpinan Cabang PAN Kota Serang.
Baliho, spanduk, dan umbul-umbul menjadi
APK favorit para peserta pemilu terutama bagi para Calon Legislatif (Caleg).
APK menjadi sarana efektif dalam menyampaikan visi dan citra dari pihak calon
serta partai politik karena dapat menyebarluaskan informasi secara luas dan
mudah dijumpai di ruang publik yang banyak dilihat oleh masyarakat.
Hayatul Farhah, Wakil Bendahara DPD PAN
Kota Serang, menjelaskan bahwa penggunaan APK merupakan syarat mutlak sebagai
sarana sosialisasi baik bagi calon maupun partai politik. Ia juga menjelaskan,
bahwa sebesar 30% pemilih menentukan pilihannya berdasarkan APK yang
dilihatnya.
“APK harus kita pakai, itu sudah menjadi
syarat mutlak. Tanpa itu masyarakat tidak tahu identitas suatu partai sebagai
bentuk sosialisasi juga. Fungsinya untuk mengenalkan. Kalau untuk mencari
dukungan, saya rasa tidak, ya. Walaupun sebesar 30% pemilih menggunakan APK
dalam menentukan pilihannya,” ucapnya.
Namun
apakah hal serupa juga berlaku bagi para pemilih milenial?
Penggunaan APK tampaknya menjadi pro dan
kontra bagi sejumlah pemilih milenial. Sebanyak sepuluh responden menyatakan
dirinya sering melihat APK di ruang public. Namun sebanyak delapan responden
menyatakan bahwa dirinya tidak tertarik untuk membaca keseluruhan isi APK
tersebut. Berikut beberapa jawaban responden mengani efektivitas APK.
“Penggunaan APK kurang menarik karena
orang hanya melihat sekilas tanpa baca isi keseluruhan. Jadi, hanya sebagai
pemenuhan pemasaran. Tidak menarik minat pemilih terutama kaum muda,” ujar Devy
Yuliana (19).
“Terlalu banyak baliho malah terlihat
mengganggu pemandangan, mengotori lingkungan. Malah membuat saya risih karena
masing-masing individu sudah punya pilihan sendiri,” jelas Audia Afra (20).
“Melihatnya hanya sekedar untuk tahu,
harus lebih banyak cari tahu tentang calonnya tidak hanya melihat APK, lalu langsung
memilih,” kata Farihah Almaida (19).
“Cukup bagus jadi identitas, namun juga
sangat meresahkan pengguna jalan. Jika sudah selesai masa kampanye akan jadi
sampah,” ujar Mia Audina (19).
Lepas dari itu ada juga pemilih milenial
yang merasa terbantu dengan kehadiran APK tersebut.
“Bagus, mengingatkan masyarakat dalam
mengingatkan pilihannya,” tutur Alvin Aulia (20)
“Bagus, kita jadi tahu siapa aja yang
mencalonkan dan visi-misinya,” ucap Mutiara Nurul Husnah (20), seorang karyawan
swasta.
Dari beberapa jawaban di atas, kita
dapat mengetahui bahwa mayoritas responden menganggap APK tidak memiliki dampak
apapun selain merusak tata ruang publik. Hal itu tentu saja menghasilkan penilaian
negatif terhadap para calon. Namun penggunaan baliho dapat dikatakan berhasil
jika hanya ditujukan untuk sosialisasi bukan untuk menarik minat pemilih.
Dari hasil riset yang dilakukan Pusat
Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengenai generasi
milenial dalam Pemilu 2019 mencapai 35-40% atau sekitar 80 juta dari total
192.828.520 Daftar Pemilih Tetap (DPT). Jumlah tersebut menjadikan pemilih
milenial menjadi suara penentu dalam Pemilu 2019.
Sebagai suara penentu, tentunya
menjadikan suara pemilih milenial ini menjadi rebutan bagi para calon. Banyak
pihak yang menggaungkan pentingnya suara pemilih milenial dalam pemilu 2019. Sebut
saja jurnalis kondang, Najwa Shihab, melalui Narasi TV dan media sosial
pribadinya. Generasi milenial memang terkenal dengan ketergantungannya dengan
dunia digital. Mereka menjadikan media daring sebagai sarana dalam pemenuhan
informasi. Melihat hal itu, berbagai calon dan partai politik, tak terkecuali
PAN, menggunakan media daring sebagai sarana kampanye.
Hayatul Farhah, Wakil Bendahara DPD PAN
Kota Serang, menjelaskan bahwa penggunaan APK tidak sepenuhnya diperuntukan
bagi segmentasi kawula muda. Ia menuturkan kampanye efektif dalam mengambil
suara pemilih milenial adalah dengan publikasi lewat media media daring terlebih
pada media sosial.
“Kalau saya fifty-fifty ya. Konvensional
iya, APK iya. Untuk menarik pemilih muda kita gunakan media digital seperti
unggahan di sosisal media. Kaum milenial cenderung menggunakan media elektronik
untuk mencari tahu partai atau calon mana yang akan dia dukung, dia sudah
paham,” terangnya.
0 Comments