Redaktur : Tasha Meyra Gusmawati
Suasana saat sedang melakukan pencoblosan. (sumber: megapolitan.kompas.com)
|
POSISINEWS
– Tahun ini merupakan pertama kalinya Indonesia menyelenggarakan Pemilihan Umum
(Pemilu) serentak, yaitu Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Anggota
Legislatif (Pileg). Pesta demokrasi ini diselenggarakan pada Rabu (17/4).
Berbicara
mengenai pemilu, pasti akan berkaitan dengan masyarakat sebagai pemilih yang
menggunakkan hak suaranya untuk memilih pasangan calon presiden dan kandidat
legislatif. Sebagai warga negara yang baik harus menggunakan hak suara untuk
memilih demi kemajuan bangsa nantinya. Tapi, bagi anak perantau, ada beberapa
kendala untuk menyuarakan hak pilih mereka. Salah satunya yaitu mengenai daerah
atau lokasi untuk memilih. Karena berada di daerah rantau, anak perantau harus
ke daerah asalnya untuk menyalurkan hak suara di Tempat pemilihan Suara (TPS)
yang sudah terdaftar di KPU.
Dilansir dari
laman tirto.id, bagi masyarakat yang ingin pindah tempat memilih pada Pemilu
2019 pihak KPU menyampaikan bahwa sesuai dengan aturan yang ada di undang-undang,
proses administrasi pindah tempat memilih hanya bisa dilakukan selambat-lambatnya
30 hari sebelum hari pemungutan suara.
Proses
administrasi yang perlu dilakukan masyarakat, yaitu menginformasikan ke Panitia
Pemungutan Suara (PPS) atau KPU kabupaten atau kota asal atau tujuan. Kemudian,
data pemilih akan dihapus dari TPS awal. Setelah proses ini selesai, calon
pemilih akan mendapatkan formulis A5. Formulir ini akan digunakan sebagai bukti
bahwa yang bersangkutan telah pindah memilih. Formulir A5 bisa didapatkan
dengan cara menunjukkan e-KTP ataupun identitas lain.
Walau sudah ada
informasi terkait cara pindah TPS, masih ada beberapa orang yang memilih menjadi
golongan putih (golput) seperti mahasiswa rantau yang tinggal di daerah cukup
jauh dari daerah asalnya.
Nur Rahmawati,
mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi Untirta yang berasal dari daerah Sumatera
Barat, terpaksa tidak bisa menyuarakan hak suaranya karena tidak berdomisili di
daerah DPT yang sudah terdaftar.
“Saya
mau ikut nyoblos, tapi saya lagi tidak berdomisili di daerah DPT. Kemarin itu
masih bingung mau gimana nyoblosnya. Terus dengar dari orang-orang, katanya
bisa nyoblos asalkan bawa e-KTP ke tempat pemilu, tapi tidak tahu daerah
nyoblosnya di mana kalo di Serang,”ujarnya.
Sebagai anak rantau, Nur mengungkapkan
bahwa tidak begitu sulit untuk mengikuti pemilu di tanah rantau jika sudah
mengetahui informasi dan prosedur yang ada. Tetapi, karena tidak begitu
mengetahui informasi, ia sedikit mengalami kebingungan terkait prosedur-prosedur
untuk memilih di daerah yang bukan daerah asalnya.
Sama halnya
dengan Nur, Meli Azizah, mahasiswi jurusan Manajemen Untirta, juga tidak ikut
menyuarakan hak suaranya karena tidak berada di daerah asalnya.
“Karena
jauh, gak bisa pulang. Besoknya ada
kuliah. Dan sebelumnya juga, hari Selasa juga ada kuliah. Jadi gak bisa (ikut pencoblosan). Gak ada libur, cuma satu hari itu gak bisa buat pulang” ucapnya.
Meli menjelaskan,
bahwa untuk mengurus perpindahan TPS sedikit sulit karena ia tidak bisa pulang
ke daerah asalnya sejak satu bulan yang lalu. Selain itu, ia pun terhambat oleh
jadwal kuliah yang membuatnya tidak bisa pulang untuk mengurus perpindahan TPS.
Meli
dan Nur merasa rugi karena tidak mengikuti pencoblosan, karena dengan tidak
mengikuti pencoblosan, dikhawatirkan akan ada kecurangan yang dilakukan
terhadap surat suara yang masih utuh atau belum tercoblos.
Mereka
berharap, semoga ada sistem yang lebih memudahkan daripada mencoblos langsung,
misal dengan cara daring atau hal lain. Atau untuk para perantau bisa
dipermudah juga ketika mencoblos hanya dengan menunjukkan e-KTP. (FFY/TMG/POSISINEWS)
0 Comments